Kamis, 07 Januari 2010

Imajinasi Akan Masa Depan

Kali ini kita akan menyimak kisah “Mary Crowe”. Seorang gadis kecil yang tinggal di daerah miskin di kota Ohio. Ia adalah salah seorang anak perempuan dari delapan anak seorang tukang tambang. Saat ia sedang mencuci pakaian kerja ayahnya, termenung menatap jendela rumahnya yang sangat kotor (simbol kemiskinan yang menyelimutinya dan keluarganya), suatu gambaran datang menghampirinya. Sebelumnya, ia telah memiliki angan-angan tentang masa depannya. Tetapi, yang ini lebih dari sekedar angan-angan. Berlian yang berkilauan dimatanya adalah bayangan tentang sebuah kampus, gedung-gedung dengan halaman hijau yang tenang, dapagari dengan tumbuh-tumbuhan menjalar yang indah. Menyusul bayangannya tentang hari wisuda, dan ia melihat dirinya sendiri memakai toga dan topi sedang menerima gulungan kertas ijazah. Ia merasakan kegembiraan yang hebat, rasa kepuasan prestasi, dan penuh kebanggaan.

Tetapi mimpi macam apakah ini ? Tak seorang pun dari keluargannya mengenyam pendidikan di kampus. Ia telah berdoa untuk perubahan itu agar mendapat kesempatan belajar. Namun sepertinya, bayangannya yang aneh tadi hanyalah fantasi hampa seorang gadis kecil. Tak lebih dari itu. Karena ia tak memiliki cukup uang untuk hal semacam ini. Sedang untuk kebutuhan sehari-hari pun kesulitan tercukupi. Tetapi bayangan dirinya menerima gulungan kertas ijazah begitu jelas dan nyata.

Suatu hari Mary Crowe menerima panggilan dari pendeta di gerejanya. Dengan penuh teka-teki Mary Crowe pergi ke rumah pendeta, dimana sang bapak yang baik itu membuka laci meja serta mengeluarkan sebuah amplop. “Mary,” katanya, “baru saja seorang jemaat kita memberi sejumlah uang untuk digunakan sebagai dana pendidikan beberapa orang yang membutuhkan dana. Saya telah mempertimbangkanmu, dan saya telah memutuskan bahwa kamu adalah salah satunya. Uang ini bisa memungkinkanmu untuk mengambil pendidikan empat tahun di Saint Mary. Saya yakin, kamu akan mendapatkan nilai yang bagus di sana.” Dan pada kenyataannya, ia belajar dikampus itu dan berhasil meraih nilai tertinggi.

Inilah imajinasi yang menjadi nyata. Mimpi yang sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Apakah ini sekedar kebetulan ? Tidak. Karena Mary Crowe mengatakan bahwa ketika pertama kalinya melihat kampus itu di Saint Mary, ia mengenalnya. Itulah kampus yang ia lihat dalam bayangan yang menghampirinya ketika ia sedang mencuci pakaian kerja ayahnya.


Ia belajar di kampus Saint Mary dan berhasil meraih nilai tertinggi. Ketika mendekati masa-masa wisuda, Mary Crowe mulai memikirkan karier. Kebetulan, saat itu ia tahu sebuah kasus yang menimpa tetangganya yang miskin yang menyebabkan ia mengerti betapa penting asuransi.

Saat itu hampir tidak ada perempuan yang bekerja sebagai petugas penjual asuransi. Hal itu masih menjadi sesuatu yang langka. Dunia asuransi adalah dunia kaum laki-laki. Tetapi, Mary Crowe ‘melihat’ dirinya sebagai seorang penjual yang sukses. Ia memvisualisasikan para pembeli yang hidupnya akan dilindungi dan terbantu oleh asuransi yang mereka beli. Ia mematri semua itu dalam benaknya dengan sejumlah kejelasan dan kepastian. Kemudian ia pergi mencari pekerjaan di sebuah agensi asuransi terbesar di kota itu.

Pegawai yang bertugas di bagian perekrutan menolaknya. Tidak ada toleransi. Wanita mau menjadi pegawai di agensi itu ? “Pulanglah,” katanya kepada Mary Crowe, “kamu hanya akan membuang-buang waktumu dan waktuku.”

Mary Crowe pulang, tetapi hari berikutnya ia datang lagi. Sekali lagi ia ditolak. Besoknya ia datang lagi dan ia pun tetap ditolak. Berhari-hari hal ini terjadi. Mary Crowe selalu berdoa penuh kesabaran serta kekuatan untuk mengikuti mimpinya. Ia menutup matanya dari keraguan. Ia tidak memberi celah sedikit pun bagi keraguan untuk masuk ke dalam dirinya.

Akhirnya, pegawai petugas rekrutmen itu terkesan dengan kegigihannya. “Baiklah,” katanya. “Kami akan menerima Anda. Tetapi, tanpa digaji. Hanya uang komisi. Jadi, Anda bisa teruskan dan Anda akan mendapatkan banyak kesulitan.”

Mary Crowe menerimanya dan mulai melakukan penjualan dari pintu ke pintu. Orang-orang memperhatikannya karena ia mampu membuat mereka merasa bahwa ia bersungguh-sungguh untuk membantu mereka (seperti yang ia tunjukkan). Dan ternyata ia tidak banyak mendapat kesulitan. Jauh dari itu, ia justru menjadi ‘salesperson’ terbaik di perusahaan itu. Ia menjadi anggota ‘Million Dollar Round Table’, sebuah kelompok khusus yang terdiri atas para agen asuransi yang mampu menjual asuransi bernilai lebih dari satu juta dollar dalam tempo 1 tahun.

Ia menjadi sebuah legenda dalam bisnis asuransi. Dengan kata lain, ia telah menjadi seperti apa yang ia imajinasikan. Ini sebuah kesuksesan yang luar biasa.

*Kisah ini menarik, menjelaskan adanya kekuatan dahsyat dan misterius di dalam diri kita yang mampu menimbulkan kemajuan yang dramatis di dalam kehidupan kita. Hal ini adalah semacam rekayasa mental yang bisa menghasilkan kerja terbaik ketika ditopang oleh sebuah keyakinan keagamaan yang kuat. Di dalam proses barimajinasi, seseorang tidak hanya berpikir tentang sebuah harapan akan tujuan, tetapi ia juga ‘melihat / memvisualisasikannya’ dengan intensitas yang sangat tinggi dan memperkuatnya dengan doa.

Sumber : Norman Vincent Peale, Positive Imaging, Diglossia, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar